26.2.09

Mempertanyakan keamanan Sterilisasi= Sindrom Pasca Ligasi Tuba

Berdasarkan data SDKI (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia) terbaru, tahun 2007, didapatkan bahwa TFR (total Fertility Rate) Indonesia mengalami stagnansi di nilai 2,6. TFR ini adalah nilai untuk mengukur nilai rata-rata berapa banyak anak yang mungkin dapat dilahirkan oleh seorang perempuan di masa reproduksi (biasanya diukur pada usia 15-49 tahun). Nilai ini termasuk rendah dibanding negara-negara di Africa yang berkisar antara 5-7, dan masih tinggi bila dibandingkan dengan negara eropa dan negara maju lainnya yang berkisar di nilai 1.

Tentunya ini menuntut peranan Pemerintah untuk lebih giat lagi menggalangkan program kontrasepsi, berdasarkan pilihan individu.

Salah satu metode kontrasepsi yang ditawarkan pada perempuan-perempuan yang sudah memiliki cukup anak dan tidak berniat untuk punya anak lagi, adalah sterilisasi, dimana dengan ini, dipastikan perempuan menjadi tidak produktif lagi.

Apakah metode ini, benar-benar bebas dari pros and cons? Mari kita lihat lebih lanjut cerita di bawah ini:

Sterilisasi Perempuan
Sterilisasi pada perempuan adalah salah satu cara mengontrol kehamilan yang dilakukan secara permanen. Prosedur yang dilakukan adalah dengan menutup tuba fallopian melalui operasi. Tuba fallopian adalah semacam pipa yang berfungsi mengangkut sel telur menuju rahim. Di tengah tuba lah terjadi pertemuan sperma dan ovum, untuk kemudian setelah menjadi zigot, dibawa untuk �dierami� dalam rahim.


Gambar 1. Tuba Falopian dan lokasi pembuahan

lokasi pembuahan tuba falopian

Dengan menutup tuba diharapkan jalan yang menjadi tempat bertemunya sperma-ovum terhalangi sehingga tidak menimbulkan kehamilan. Ada 3 metode yang dilakukan untuk melakukan hal ini yaitu:
1. Memotong kemudian mengikat tuba (tuba ligasi)
2. Membentuk jaringan ikat (scarring) pada tuba dengan elektrokoagulasi hingga menutup
3. Memblok tuba secara manual
Di antara ke-3 metode ini, tuba ligasi adalah yang paling popular dan sering dilakukan pada praktek sehari-hari.
Terdapat 3 tehnik operasi ligasi tuba yang terkenal dan sering dilakukan:
Tehnik Pomeroy : dibuat simpul pada tuba, lalu diikat, kemudian dipotong (lihat gambar 2)
Tehnik Pritchard (Parkland) : dua segmen diikat, lalu bagian di antaranya dipotong (lihat gambar 3)
Tehnik Irving : dilakukan pemotongan di tengah tuba, lalu bagian yang dekat ke uterus diikat kembali ke dinding uterus mencegah pelengketan kembali atau kebocoran. (lihat gambar 4)

Gambar 2: Prosedur ligasi tuba �Pomeroy�



Gambar 3 : Prosedur Parkland



Gambar 4 : Prosedur Irving



Apa keuntungan sterilisasi? Di antaranya menjadi sebuah alat kontrol kehamilan sepanjang hidup (beberapa metode dapat dilakukan operasi reversal dengan membuka ikatan agar dapat hamil kembali), membantu mencegah infeksi kronik panggul, praktis karena tidak mengganggu saat hubungan intim untuk memasukkan terlebih dahulu alat KB.

Selain itu terdapat keuntungan non-kontraseptif di antaranya McLaughin, Kjaer dan kawan-kawan melaporkan bahwa sterilisasi memproteksi dari kanker ovarium. Selain itu dikatakan bahwa sterilisasi tidak menimbulkan resiko kanker payudara, kanker endometrium (dinding dalam rahim) dan tidak menyebabkan kerapuhan tulang.

Melihat seperti ini, lalu adakah sebenarnya efek tidak menyenangkan dari sterilisasi dan seberapa besar dampaknya terhadap kehidupan seksual seseorang? Apakah yang terjadi pada Rita dapat dikatakan efek dari sterilisasi atau masalah psikologis karena pengaruh kecemasan pasca steril?

Sindrom Pasca Ligasi Tuba (Post Tubal Ligation Syndrome)
Selama ini banyak praktisi medis yang menyangkal adanya gejala-gejala terkait dengan operasi ligasi tuba (sterilisasi). Yang diberitahukan kepada pasien adalah bahwa operasi ini aman, efektif untuk mengontrol kehamilan, dan tidak akan mempengaruhi hormon atau pun menyebabkan menopause. Benarkah? Lalu kenapa banyak sekali laporan perempuan terkait dengan operasi sterilisasi ini?

Adalah dr. Vicky Hufnagel, di tahun 1980, yang secara gencar mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pasien-pasien yang ia temui yang mengeluhkan banyak gejala setelah sterilisasi. Hufnagel mengatakan bahwa banyak perempuan datang kepadanya mengeluhkan pendarahan, depresi, keringat banyak, dan kehilangan hasrat seksual. Sebelumnya setiap kali perempuan-perempuan tersebut melapor kepada dokter-dokter mereka, secara serempak mereka dikatakan hanya mengalami kecemasan yang tak beralasan. Dokter-dokter tersebut sangat yakin bahwa sterilisasi tidak memberikan dampak apa-apa, apalagi mempengaruhi hormon perempuan.

Dalam bukunya �No More Hysterectomies� (�Jangan Lagi Ada Histerektomi), Hufnagel menyodorkan 3 teori kenapa terjadi SPLT, yaitu 1. Ligasi tuba menghancurkan suplai darah ke ovarium; 2. Beberapa tipe prosedur sterilisasi tuba beresiko terhadap timbulnya endometriosis; 3. Peningkatan tekanan darah pada arteri ovarium menyebabkan ketidakseimbangan estrogen-progesteron.

Banyak data saat ini mulai dilaporkan oleh para klinisi menyangkut timbulnya gejala-gejala pada perempuan setelah operasi ligasi tuba. Hargrove dan Abraham melaporkan komplikasi jangka panjang pada perempuan yang disterilisasi sebanyak 22% sampai 37%. Studi di Inggris menemukan perempuan setelah operasi tuba, 40% mengalami peningkatan pendarahan menstruasi, 26% mengalami nyeri kram saat menstruasi. James G. Tappan dalam penelitiannya melaporkan bahwa 40,7% insidensi menorrhagia (pendarahan yang banyak saat menstruasi) diduga karena degenerasi cystic dari ovarium oleh gangguan aliran darah pada a.uterina. Pada penelitian lain di Amerika terhadap 8000 perempuan setelah 5 tahun pasca operasi ligasi tuba ditemukan 49% di antara mereka mengalami pendarahah menstruasi berat, 35% lain terdapat nyeri kram yang meningkat saat menstruasi. Wilcox dan kawan-kawan mendapati 489 perempuan pasca operasi tuba memiliki resiko 3,5 kali lebih besar dari rata-rata normal untuk terjadinya kanker serviks.

Susan Bucher, adalah perempuan dengan 2 anak yang pada usia 30-an melakukan prosedur sterilisasi dengan ligasi tuba. Dua tahun setelah itu, Susan datang kepada dokternya mengatakan bahwa ia mengalami henti mens. Tetapi �ocehan�nya tidak diindahkan. Selanjutnya Susan mengalami menopause dini, dengan kadar hormon yang sama dengan perempuan seusia 70-an. Dalam bukunya �What Doctor Don�t Tell You About Tubal Ligation and Post Tubal Ligation Syndrome�, Susan berjuang untuk mengatakan kepada perempuan di dunia agar menyadari dampak dari prosedur sterilisasi yang mereka pilih. Menurut Susan penting untuk para dokter melakukan inform consent sebenarnya mengenai efek jangka panjang prosedur sterilisasi. Susan juga menyarankan agar perempuan yang sudah terlanjur melakukannya, dapat melakukan operasi reversal, menyambung kembali tuba yang terputus.


Gambar 5: Susan Bucher dan dr. Vicky Hufnagel, sama-sama berjuang untuk perempuan SPLT


Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Menurut dr. Hufnagel, kondisi yang ia sebut dengan �Ovarium terisolir� lah penyebabnya. Istilah ini diambil dari kondisi dimana ovarium seseorang terisolasi atau secara operasi �terbuang- dari suplai darahnya. Akibatnya ovarium menjadi atropi dan tidak berfungsi. Hal ini terjadi tidak hanya pada operasi ligasi tuba tetapi juga pada keadaan histerektomi (pengangkatan rahim) meski ovarium dikatakan tetap pada tempatnya. Yang terjadi bila ovarium tidak berfungsi adalah penurunan secara nyata dan tiba-tiba dari kadar estrogen, akibatnya terjadi lah prematur menopause dan shock hormon. Gejala yang muncul adalah hot flushes (keadaan dimana seseorang menjadi banyak berkeringat terutama malam hari dengan jantung berdebar-debar), menggigil, vagina kering, nyeri saat berhubungan, kehilangan hasrat seksual, dll.

Gambar 6 : Contoh kasus Ovarium terisolir pada perempuan yang mengalami operasi ligasi tuba di tahun 1995



Gangguan Seksual Bukan Mitos
Apa yang dialami oleh Rita ternyata sungguh terjadi sebagai bagian dari Sindroma Pasca Ligasi Tuba. Warehime dan kawan-kawan melaporkan di tahun 2007 bahwa surveynya terhadap perempuan Amerika menunjukkan bahwa mereka dengan operasi ligasi tuba menjadi lebih besar kecenderungan untuk mengeluhkan stress yang mengganggu hubungan seks mereka, dan menemui dokter karena gangguan seksual. Penelitian oleh Basgul A dan kawan-kawan di Kanada terhadap 127 perempuan yang melakukan sterilisasi tuba di tahun 2000-2005 melaporkan 23,1% mengalami perubahan pada kehidupan seksual mereka.

Kasus yang jarang seperti pada Susan Bucher dimana ia mengalami kastrasi ovarium pada saat operasi (karena pembuluh darah yang rusak), menyebabkan hasrat seksual turun sampai ke titik nol. �Suami saya melakukan inisiatif untuk melakukan hubungan intim, tetapi saya sama sekali tidak tertarik untuk melakukannya,� cerita Susan.

Namun begitu, masih ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa sterilisasi tidak memberi dampak serius pada kehidupan seksual seseorang. Penelitian yang dilakukan Costello dan kawan-kawan yang dipublikasikan pada Jurnal Obstetric & Gynecology, September 2002, mengatakan bahwa 80% dari 4676 perempuan yang mereka teliti tidak melaporkan adanya perubahan konsisten pada gairah dan kenikmatan seksual pasca operasi ligasi tuba. Bahkan pada tulisan Shain RN dan kawan-kawan dikatakan pada sebagian perempuan sterilisasi tuba justru memberikan efek yang positif terhadap kepuasan dan spontanitas seksual mereka, karena mereka menjadi berkurang kecemasan akan kemungkinan terjadinya kehamilan tak terencana.

Meski data yang lebih banyak masih diperlukan untuk memastikan lebih lanjut Sindroma Pasca Ligasi Tuba, para dokter sudah tidak bisa lagi tutup mata akan banyaknya perempuan yang mengeluhkan kondisi mereka. Perempuan-perempuan juga perlu mendapatkan informasi yang sejujurnya mengenai efek samping dari prosedur operasi yang akan mereka lakukan. Alih-alih untung, malah jadi buntung. Untuk itu bagi mereka yang berencana melakukan sterilisasi, sebaiknya menimbang dengan cermat segala dampak dan manfaat dari prosedur yang hendak dilakukan.

0 comments:

Post a Comment