12.7.09

Siapa bilang dokter luar lebih baik?

Siapa bilang berobat ke luar negeri lebih baik dari berobat di dalam negeri? Siapa bilang kualitas pelayanan di luar lebih nyaman dibanding di sini?

Pada prinsipnya perbuatan oknum dokter dan institusi yang dapat merugikan pasien, bisa terjadi di mana-mana. Bahkan peristiwa yang menimpa Michael Jackson yang menghebohkan saat ini cukup menunjukkan betapa oknum dokter yang rela menggadaikan sumpah profesinya demi uang, bisa terjadi bahkan di negeri adigdaya seperti Amerika sekali pun.

Pengalaman baru-baru ini menyangkut peresepan obat irasional terjadi pada adik saya di Kuala Lumpur, Malaysia. Negeri yang menjadi salah satu tempat tujuan "wisata" medis penduduk Indonesia. Pada saat sedang berlibur di sana, adik saya tersebut terserang gejala flu biasa (batuk dan pilek). Dia lalu dibawa oleh keluarga temannya ke sebuah fasilitas kesehatan yang namanya berunsurkan kata yang dalam bahasa Inggris berarti "pangeran". Tempat ini mengklaim, sebagaimana yang saya baca di situs resminya, sebagai sebuah pelayanan kesehatan yang terakreditasi secara internasional. Dan memang, bila dilihat dari gedungnya yang besar dan megah, predikat itu memang wajar.

Tetapi, apakah hal ini berarti mereka terbebas dari oknum-oknum yang irasional dalam peresepan? Belum tentu. Hal ini terbukti dari obat yang saya lihat diberikan kepada adik saya. Coba simak, daftar obat (4 macam!) berikut ini:

1. panadeine: paracetamol 500mg, codeine phospate 8mg
3x2 tab 3 hari

2. prospan syr : dried ivy leaf

3. eritromisin etilsuksinat 400mg : 2x1 untuk 5 hari

4. clarinase: loratadine 10mg + pseudoefedrin 240mg: 1x1 tab

Obat yang pertama, menurut pendapat profesional saya, jelas tidak rasional mengingat paracetamol yang dalam hal ini saya duga diberikan karena efek antipiretiknya (anti panas) diberikan sampai 1000 mg per 1x konsumsi. Dokter Indonesia biasanya cukup meresepkan obat yang memiliki komposisi paracetamol 500 mg, 3 kali dalam sehari. Belum lagi bila kita melihat dalam obat tersebut terdapat kodein yang sesungguhnya diresepkan dalam kondisi batuk yang parah. Ditambah dalam kasus adik saya, prospan syr yang isinya herbal, sebagai pereda batuk, juga ikut disertakan. Pemberian antibiotik eritromisin saya anggap rasional bila memang penyakit adik saya tersebut sudah lebih dari 3 hari, tetapi menjadi irasional bila adik saya hanya terserang flu karena virus biasa. Clarinase dalam hal ini digunakan untuk meredakan gejala pilek yang diderita. Loratadine adalah anti histamin yang bersifat anti alergi yang terjadi pada orang pilek, sedang pseudoefedrin digunakan untuk melegakan pernafasan. Melihat pemberiannya yang hanya 1x1 mungkin karena adik saya pada saat itu dilihat tidak terlalu pilek.

Agak mencengangkan mengetahui ada 4 obat terpisah yang diberikan, mengingat banyak sekali produk obat yang memiliki komposisi lengkap dalam 1 kemasan untuk kesemua gejala batuk dan pilek (kecuali antibiotik yang memang tidak bisa digabungkan).

Bagi saya, ini jelas menunjukkan peresepan irasional yang lebih diinduksi oleh kepentingan perusahaan obat, ketimbang memperhatikan kepentingan pasien. Dan ini juga ikut membuktikan bahwa predikat "internasional" tidak selalu menjanjikan pelayanan yang terbaik bagi pasien-pasiennya.

Penting bagi kita semua untuk memetik pelajaran dari hal ini.

Untuk pasien:
1. Bahwa pengobatan di luar negeri tidak lebih baik dari negeri sendiri.
2. Bahwa mewahnya tempat pelayanan belum tentu menjamin "mewah" pula kualitas yang diberikan.
3. Selalu lah mencari dokter yang ramah yang menjelaskan dengan logis tentang obat-obat yang ia berikan.
4. Tidak perlu malu untuk bertanya pada dokter Anda, karena hak bertanya ini memang dimiliki oleh pasien (tentunya dalam hal ini dokter berkewajiban menjawab pertanyaan dengan bahasa yang dimengerti pasien)

Untuk sejawat dokter:
1. Selalu ingat akan sumpah profesi. Bahwa pelayanan adalah di atas segalanya. Dan kepentingan-kepentingan lain di luar ini, tidak boleh sampai menomorduakan kepentingan pasien.
2. Selalu belajar cara berkomunikasi efektif dengan pasien, dan memberikan peluang konsultasi tanpa batasan waktu bila memang perlu, agar pasien-pasien terpenuhi haknya dalam mendapatkan informasi menyangkut kondisi penyakitnya.
3. Hati-hati dalam meresepkan obat, dan lakukan crosscheck untuk setiap informasi yang diterima dari medrep (apalagi bantuan Mr. Google selalu tersedia dan jarang mengecewakan).
4. Menyadari, bahwa pasien adalah keluarga kita. Apa yang terjadi pada pasien bisa terjadi pula pada keluarga kita. Karenanya berikanlah yang terbaik sebagaimana itu pula yang kita inginkan diberikan kepada anggota keluarga kita.

.....




0 comments:

Post a Comment