11.3.09

Aborsi di Indonesia, Sebuah Dilema

Aborsi tidak klise, tetapi ia selalu menyeruak tanpa henti hampir tiap jaman, memenuhi ruang perdebatan publik. Akhir-akhir ini sebagaimana yang diberitakan di media massa, beberapa dokter �diciduk� karena melakoni praktek aborsi ilegal. Terdapat pro dan kontra menyikapi praktek aborsi dari kalangan dokter ini. Tidak dipungkiri bahwa terjadinya praktek tsb tak terlepas dari tingginya tingkat aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan, baik karena pola hidup seks pra nikah di kalangan masyarakat umum, maupun kegagalan penggunaan alat kontrasepsi bagi pasutri. The Alan Guttmacher Institute (suatu lembaga Internasional berpusat di US yang concern terhadap kesehatan reproduksi) mencatat bahwa 57% kehamilan pada dasarnya �unintended� sehingga berakhir 29%-nya dengan aborsi. Lembaga yang sama mencatat di Indonesia terjadi 2 juta aborsi di tahun 2000. Dalam estimasi, angka aborsi per tahunnya adalah 36/1000 perempuan (usia 15-49 tahun). Angka ini masih tinggi dibandingkan dengan wilayah asia keseluruhan yang tercatat 29/1000.


Aborsi Pada Remaja

Adek R Jameela dalam artikel yang ia tulis untuk situs dunia wanita menulis:

��hasil penelitian Annisa Foundation pada tahun 2006 yang melibatkan siswa SMP dan SMA di Cianjur terungkap 42,3% pelajar telah melakukan hubungan seks pertama saat duduk di bangku sekolah.�

� ..penelitian lain menemukan�21-30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah melakukan hubungan seks pra-nikah.�

Menurut data BKKBN, 600 ribu remaja per tahunnya melakukan aborsi.

Hasil survey oleh Bali Post di 12 kota di tahun 2000 menampilkan angka yang lebih fantastis yaitu 59,6% remaja di atas 19 tahun dan 11% di bawah 19 tahun telah melakukan hubungan seks pra nikah. Penelitian Palembang Post di sebuah klinik mengungkap 35% aborsi per tahunnya dilakukan remaja di atas 19 tahun, sedang 25% nya masih berusia di bawah 18 tahun.

Aborsi dalam Pernikahan

Berlawanan dengan perkiraan banyak orang, aborsi lebih banyak justru dilakukan oleh pasangan yang telah menikah. Guttmacher Institute lagi-lagi mencatat 66% aborsi dilakukan oleh wanita yang menikah. Di antara mereka ini adalah mereka yang gagal kontrasepsi atau masuk dalam kriteria unmet need kontrasepsi, yaitu mereka yang tidak menginginkan anak tetapi tidak ber-KB. Yayasan Kesehatan Perempuan dalam penelitian mereka di tahun 2002-2003 mengungkap 87% perempuan yang melakukan aborsi adalah berstatus istri, dengan rata-rata telah memiliki lebih dari 2 anak. Bahkan 47% di antaranya adalah wanita karir, termasuk juga PNS dan anggota TNI/Polri. Sejumlah 36% mengaku mereka telah gagal ber-KB, sedang tak sedikit karena alasan psikososial seperti suami tidak bekerja, ekonomi sulit, dll; serta alasan relasi-intimasi seperti hubungan yang tidak harmonis, kekerasan dalam rumah tangga, suami tidak bertanggungjawab, dll.

Aborsi yang Tidak Aman

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menurut SDKI 2003-2007 sebanyak 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Menurut WHO 15-50% AKI disumbang oleh aborsi yang tidak aman. Di perkotaan 15% aborsi dilakukan oleh dukun, sedang jumlah ini menjadi fantastis di pedesaan dimana 80% dilakukan oleh dukun. Hal ini belum termasuk jumlah perempuan yang menginduksi sendiri persalinannya dengan menggunakan jamu-jamuan atau obat-obatan yang ia ketahui bersifat abortif. Karena itu di luar resiko kematian, komplikasi akibat prosedur aborsi yang tidak aman ini juga dapat menyebabkan faktor-faktor resiko lain seperti pendarahan hebat, infeksi karena penggunaan alat tidak steril, perforasi rahim (rahim robek), bahkan perlukaan di wilayah genital dan abdomen yang parah.

Legalisasi Aborsi, Perlukah?

Sayangnya, meski di beberapa negara mencatat bukti, bahwa legalisasi aborsi diikuti dengan penurunan angka aborsi itu sendiri, Indonesia masih melarang praktek aborsi terang-terangan. Hal ini sebagaimana tercantum pada KUHP pasal 283, 299, 346-349; yang melarang segala bentuk aborsi dengan ancaman penjara maksimal 4 tahun kepada yang membantu menggugurkan. Memang saat ini telah keluar pula UU yang mengatur aborsi bersyarat yaitu UU No.23/1992 tentang kesehatan, pasal 15 yang mengatur aborsi dengan syarat: atas indikasi medis, dilakukan tenaga kesehatan yang berwenang sesuai dengan tanggungjawab profesi dan pertimbangan tim ahli pada sarana kesehatan tertentu, dan dilakukan setelah mendapatkan persetujuan ibu hamil/suami/keluarganya. MUI bahkan telah pula ikut mengeluarkan fatwa No.5 tahun 2005 yang mengisyaratkan dibolehkannya aborsi bila kehamilan tsb berbahaya bagi nyawa ibu, janin yang dikandung cacat, akibat perkosaan atau karena sakit berat yang diderita sang ibu. Namun mengingat masih tingginya tingkat aborsi di Indonesia dengan tinggi pula dampak sosial, ekonomi, psikologis bagi perempuan maupun negara, maka memang kita tidak boleh berpuas diri dengan kondisi sekarang.

Saya mengetahui persis bahwa legalisasi aborsi adalah suatu hal yang masih panas terdengar di telinga masyarakat berbudaya dan ber-agama di Indonesia. Dan pro dan kontra mengenai hal ini memang akan semakin bergulir. Tetapi yang perlu disadari, meski tidak dalam kondisi legal, kejadian di bawah tanah, tidak di permukaan, secara diam-diam; terus saja terjadi. Dan ini malah memberikan ekses terhadap praktek aborsi yang tidak aman, dan membuat sulit seseorang yang membutuhkan aborsi ini. Legalisasi aborsi bukanlah untuk mengatakan bahwa aborsi itu halal, atau dianjurkan, tapi semata demi menertibkan praktek ini agar berada dalam metode medis-etis yang aman.

Saya sendiri malah lebih jauh menganggap, aborsi adalah hak seorang perempuan; yang berhak untuk menentukan apakah ia sanggup atau tidak untuk memiliki anak. Memiliki anak pada remaja-remaja yang telah terlanjur hamil tidak hanya menyebabkan resiko medis akibat kehamilan di usia dini, tetapi juga berdampak pada masalah psikologis dan sosio-ekonomi.

Memang, sebagaimana yang dikemukakan banyak orang, saya mengerti sepenuhnya bahwa melegalkan aborsi bukan berarti secara langsung memotong jalur terjadinya aborsi khususnya pada remaja yang terjadi akibat seks pra nikah. Tetapi kita tidak dapat menutup mata, atau bersikap �munafik� menafikan keberadaan pola ini berlangsung dalam masyarakat kita yang notabene terbentuk karena derasnya arus informasi asing yang tidak diikuti dengan transparansi pengetahuan seks di kalangan mereka. Usaha-usaha yang dilakukan demi memberikan pengetahuan dan kesadaran untuk tidak melakukan seks pra nikah dengan menguatkan pendidikan moral-agama di kalangan masyarakat, tetap pula harus diikuti dengan upaya melegalkan aborsi agar dapat dengan aman dilakukan oleh praktisi medis yang berpengalaman tanpa mereka harus dihantui oleh perasaan takut akan ancaman pidana.

Anggapan nyinyir masyarakat yang mengatakan �dosa ganda� kepada para pelaku aborsi pra-nikah, sebenarnya tidak tepat. Karena ungkapan dosa adalah prerogatif Tuhan, yang tdak sepatutnya dilayangkan oleh mulut manusia. Hanya individu yang bersangkutan yang bisa memilah baik buruk tindakannya di mata Tuhan-nya, sekaligus juga bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Pemerintah di lain pihak, harus bisa memfasilitasi dengan memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi mereka, meski posisi nya dalam masyarakat berada di marginal.

Bila sudah begini, apakah dokter yang membantu praktek aborsi agar dilakukan sesuai prosedur medis-etis yang aman bagi sang ibu pantas untuk disematkan gelar penjahat? Atau malah, tanpa banyak yang menyadari, sebenarnya wajar untuk digelari �pahlawan tanpa tanda jasa�?

Entahlah.

0 comments:

Post a Comment